Langit Biru dan Awan Putih di Sorong, Papua

Sebagian daratan kepala burung Papua

Tanah Papua adalah tanah impian kunjungan saya sejak masih bersekolah di tingkat sekolah dasar. Tante saya, adik ayah, beserta keluarganya menetap disana sejak tahun 1970-an karena ikatan dinas oom saya. Beliau pejabat di kepolisian dan tinggal di Jayapura hingga meninggal. Ada saja buah tangan yang dibawa oleh anak-anak tante saya kalau mereka berkunjung ke Jakarta. Jadi sejak kecil saya sudah pakai tas anyam noken, memakai gelang anyam khas Papua ke sekolah dengan bangga, makan buah matoa yang rasanya seperti rambutan dan makan sagu yang diolah ibu saya.

Bandara DEO, Sorong... look at the sky!
Keindahan dan keaslian alamnya, keunikan budaya suku-suku bangsanya dan pegunungan Jayawijaya yang menjadi daya tarik luar biasa itu semakin membuat saya terpincut ingin berkunjung kesana. Sudah beberapa kali pula saya 'nyaris' pergi ke Papua; mulai dari rencana ekspedisi panjat tebing ke Idenburg saat kuliah yang batal, tugas misi gereja ke desa Hobart di kabupaten Sorong yang juga gagal --padahal tiket sudah di tangan-- dan tugas liputan yang juga batal karena satu dan lain hal. Namun Tuhan memang baik; bulan Oktober tahun 2012 saya mendapat tugas liputan ke kabupaten Sorong, daerah kepala burung, Papua. Akhirnya :)

Kendati saya lebih banyak meliput ke kabupaten Sorong yang curah hujannya cukup tinggi, namun saya bersyukur karena setiap hari saya dapat menikmati langit biru yang jernih dan cantik, beserta awan-awan putihnya yang mengagumkan. Setiap saat melihat keindahan ini saya selalu membidikkan kamera saya sambil mensyukuri cuaca yang baik itu.

Foto: Langit biru awan putih



Langit Biru di Aimas
Walaupun sama-sama terletak di wilayah kepala burung pada peta propinsi Papua, kota Sorong lebih terkenal daripada kabupaten Sorong. Apalagi kalau dikaitkan dengan Raja Ampat, surganya para penyelam (diver) yang letaknya memang dekat sekali dari Sorong. 


Kilang minyak di pusat kota Sorong


Pipa minyak bumi sepanjang 100 km ke kota Sorong
(sudah ada sejak jaman Belanda)


Kotanya sendiri sudah berdiri sejak jaman Belanda menjajah Indonesia; terutama karena daerah ini adalah penghasil minyak bumi dan gas yang cukup raksasa jumlahnya. Namun tahun 1996 Sorong menjadi daerah otonom dan terpisah dari Kabupaten Sorong pada tahun 2000. Secara administratif letaknya di bagian barat Propinsi Papua Barat  yang berbatasan dengan Raja Ampat di barat, Manokwari dan Raja Ampat di timur dan kabupaten Sorong Selatan di selatan.


Jalan raya hingga pelosok
Tahun 2008 Raja Ampat, Sorong Selatan dan Tambrauw menjadi kabupaten sendiri juga sehingga tidak lagi menyumbang devisa bagi kabupaten Sorong. Menurut bupati Sorong, Dr Stepanus Malak yang saya wawancarai untuk tugas liputan ini, masih banyak daerah potensi wisata lain di kabupatennya. Sayangnya pada tugas kali ini saya belum sempat mengunjungi Teluk Segun, Teluk Dore dan Selat Sele yang konon sangat indah dan masih asli alamnya.

Pembangunan jalan di Aimas
Karakteristik alam kabupaten Sorong adalah pegunungan dan dataran sempit di bagian utara yang menghadap Samudera Pasifik, dan daratan serta rawa-rawa di bagian Selatan yang berhadapan dengan Laut Seram. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi; boleh dibilang tiada hari tanpa hujan. Banyaknya hari hujan setiap bulan antara 9-27 hari. Januari adalah bulan terbanyak hari hujannya. Tak heran waktu tahun 2008 saya akan pergi ke Hobart, peralatan yang harus dibawa termasuk ransel dan sepatu mendaki gunung. Konon perjalanan yang ditempuh sangat berat akibat jalan rusak dan berlumpur. Etape terakhir perjalanan malah harus berjalan kaki beberapa jam karena belum ada jalan raya yang mencapai Hobart.

Batas areal pemukiman dan hutan
Saat itu bupati Malak baru menjabat; pembangunan infrastruktur yang ia canangkan baru dimulai. Tahun kedua kepemimpinannya sudah nyaris setengah jumlah desa di daerahnya memiliki jalan raya. Kab. Sorong membangun menembus hutan, membuka desa-desa terpencil dan menghubungkan seluruh wilayah di daerahnya dengan jalan raya-jalan raya yang baik sehingga Kab. Sorong maju pesat dalam perekonomian, pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Wajah wilayah kabupaten ini memang sudah banyak berubah dalan waktu kurang dari lima tahun saja. Sejak transmigrasi dihentikan pada tahun 1999, kini kesan wilayah transmigrasi telah punah. Perumahan, yang paling mencolok, kini tertata rapi, permanen dan berkualitas. Keadaan ini sangat berbeda dengan sebelumnya dimana kondisi rumah banyak yang menyedihkan, tidak berdinding batako dan kumuh.


SMU beserta asrama

Penjual Rebung


Tekad bupati beserta jajaran bawahannya adalah memajukan putra-putra daerah Sorong. Dengan demikian putra daerah harus bersekolah setinggi-tingginya sehingga mereka mampu bersaing di dunia kerja. Pembangunan jalan raya mengakibatkan pesatnya pula pertumbuhan lapangan pekerjaan, peluang usaha dan perputaran uang dan barang. Aimas yang dulu kampung nan becek dan sulit dijangkau kendaraan kini sudah menjadi ibukota Kab. Sorong yang terang benderang dan ramai. 


Bupati Malak jelaskan RUTRD 
Masih banyak rencana bupati yang sedang dalam masa pembangunan saat ini. Kelak, salah satu kabupaten terkaya di Papua ini akan memiliki lapangan terbang sendiri, bertaraf internasional, di Segun. Sehingga mereka yang akan ke Kabupaten Sorong tidak perlu mendarat di bandara DEO yang jaraknya hanya 5 menit berjalan kaki dari pintu hotel saya. Kab Sorong juga akan mempunyai pelabuhan laut internasional di Arar sehingga kapal-kapal besar pembawa kontainer tidak perlu lagi berlabuh di Pelabuhan Sorong yang kepadatannya sudah mengganggu lalu lintas di sekitar pelabuhan.

RSUD Aimas

Belum lagi rencana untuk mendirikan rumah sakit-rumah sakit, perguruan tinggi, dan industri-industri yang berskala besar dan internasional. Bupati Malak optimis ia dapat menuntaskan semuanya dengan bantuan masyarakat dan jajaran pemkab Sorong dalam waktu yang sudah direncanakan.




Seafood dan Papeda
Kala mendengar kata Tembok Berlin di kota Sorong, pikiran saya langsung melantur ke sebuah tembok bersejarah yang pernah saya lihat di Berlin, Jerman. Malam hari saya dan teman-teman satu tim bergerak ke tempat itu untuk mencari makan malam. Ternyata itu adalah sebuah kawasan tenda-tenda makanan seafood, chinese food, makanan jawa, makassar dan lain-lain yang hanya buka di malam hari.


Tembok Berlin pagi hari
Kepiting Saus Padang





Pelabuhan Pasar Ikan Sorong

Sorong terkenal dengan seafoodnya, terutama udang dan kerang. Tak heran, karena kota ini terletak di tepi lautan yang kaya akan ikan dan hasil laut lainnya. Pelabuhan nelayan di Pasar Jempur, Sorong, adalah salah satu tempat berlabuhnya ikan-ikan segar yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan tempat pelelangan ikan yang tersebar di Indonesia. 

Penjual ikan di Pasar Jempur
Nelayan & Pembeli

Suatu subuh saat saya berkunjung kesana, banyak pemandangan dan kejadian menarik. Saya sangat menikmati suasana berlabuhnya kapal-kapal nelayan, yang disambut para pembeli dan mereka melakukan tawar menawar untuk ikan-ikan yang masih menggelepar di lambung kapal. Di dalam pasar suasana lebih riuh karena ada tambahan suara alat pemotong untuk ikan-ikan yang berukuran besar. Saya mengamati bahwa kebanyakan nelayan adalah bukan dari suku bangsa Papua; menurut teman saya biasanya dari Makassar atau Bugis. Memang tetap banyak orang Papua berjualan di pasar pelabuhan itu tetapi bukan ikan melainkan sayur atau makanan khas Papua yaitu sagu dan bagea.


Gadis penjual sagu&bagea di Jempur
Kembali ke tembok Berlin, selain segar dan lezat, harga makanan disini pun cukup murah untuk ukuran Jakarta. Saya memesan ikan kerapu untuk sendiri, ukurannya sedang, harganya hanya Rp50.000. Di Jakarta mungkin sudah lebih dari Rp100.000. Kami memesan kepiting saus padang sampai 3 porsi saking adu cepat menyantapnya, juga udang dan cumi goreng mentega.



Fresh from the sea!


Makanan utama penduduk asli Papua yang tinggal di pesisir adalah sagu. Papua sendiri merupakan potensi sagu terbesar di dunia. Luas lahannya sekitar 85% dari luas hutan sagu nasional. Sagu berasal dari pohon sagu (metroxylon sago) bagian teras batang rumbianya yang diproses menjadi tepung. Sayang, saat ini pohon sagu yang tumbuh alami di bumi Papua semakin sedikit. Habis ditebang untuk membangun kota atau desa.


Sagu sebagai makanan dibuat menjadi bubur disebut papeda. Biasanya teman makan papeda adalah ikan laut yang dimasak kuah kuning. Saya lupa tanya apa saja bumbu masakan itu, tapi yang penting rasanya luar biasa; ikannya kakap putih. Untuk memindahkan papeda dari mangkok besar ke mangkok kecil ada cara tersendiri. Bagaimana caranya, Anda harus ke Sorong dan mencoba masakan ini.

Segar dan lezat
Papeda & Ikan kuah kuning







Kembali ke tembok Berlin, malam itu kami tidak makan pakai sagu tapi nasi. Semua makanan terasa segar karena langsung dari lautan yang terletak di balik tembok Berlin tersebut. Disebut tembok karena memang ada bangunan tembok yang menjadi penghalang air laut masuk ke jalan, terutama saat air laut pasang dan ombak besar. Kalau air laut sedang surut malah muncul pantai yang katanya dikenal sebagai pantai Lido


Sorong hari Minggu pagi
Di hari minggu pagi biasanya daerah tembok Berlin ini cukup ramai dengan warga Sorong yang berolahraga. Sebaiknya pemerintah kota Sorong merawat tempat ini agar terlihat lebih bersih, demikian pula pantainya, dan lebih tertata sehingga bisa menjadi aikon bagi Sorong seperti halnya pantai Losari di Makassar. 

Pulau Buaya



Pantai alami di kiri jalan
Kabarnya panorama matahari terbenam (sunset) dari tembok ini luar biasa. Letak tembok Berlin memang pas menghadap ke Barat sehingga kita dapat menyaksikan sunset yang sempurna, kalau tidak mendung. Sayang kami tidak sempat melihat sunset.



 Namun di suatu kesempatan makan siang saya sempat melihat panorama laut dengan pulau Buaya yang kabarnya memiliki obyek wisata laut dengan karang-karang yang indah sebab belum dijamah manusia dengan bom ikan. Pulau indah lain adalah Pulau Sof dan Pulau Doom. 

Keindahan tiga pulau ini hampir menyamai Raja Ampat karena pengunjung dapat menikmati alam bawah laut yang dihuni jutaan ikan besar dan kecil dengan aneka warna yang menyejukkan mata. Lokasinya pun mudah dicapai, hanya dalam waktu 10-15 menit berperahu motor dari pusat kota.

Obyek wisata lain di Sorong adalah Tanjung Saoka dan Tanjung Kasuari. Tempat ini memiliki keindahan pantai pasir putih dihiasi batuan hitam. Daerah perairan tersebut cantik karena airnya yang masih bersih dan jernih. Saya sempat berkunjung ke sebuah komplek vila yang sedang dibangun di daerah Saoka. Sayang sekali, infrastruktur jalan menuju tempat indah itu belum memadai. Jalan rayanya yang mulus tidak sampai 2 km, sisanya mobil harus berguncang-guncang karena kondisi jalan yang buruk. 


Pantai Saoka yang bersih
Untunglah pemandangan laut yang membentang di kiri jalan sangat menghibur mata saya. Tidak ada bangunan, sejauh mata memandang hanya pepohonan dan lautan, terkadang terlihat pantai berpasir putih tanpa manusia. Kami juga melewati kawasan yang masih ada desa dan vila-vila orang kota, namun semuanya rapih tertutup tembok. Jalanan setapak menuju pantai menjadi penanda batas antar wilayah desa atau antar vila. Nama jalannya pun unik-unik, lebih banyak berbau asing. 


Penduduk asli pulang saat matahari turun
Keindahan pantai Saoka semakin sempurna saat menyaksikan matahari terbenam. Udara laut yang segar mampu mengusir panasnya udara kota Sorong yang melekat di pakaian saya. Pantainya yang bersih tanpa kotoran atau sampah sedikit pun membuat saya tak lelah berkali-kali membidikkan kamera. Saya berandai-andai, di kabupaten Sorong terdapat pantai yang lebih indah, asli dan terawat. Maka wisatawan dan penduduk kabupaten Sorong tak perlu jauh-jauh ke Saoka untuk menikmati kesegaran udara laut. (LGN*)



 

Komentar

  1. Langit Biru dan Awan Putih, itulah keindahan yang diberikan Tuhan bagi Tanah Papua, Surga Dunia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer