Pesona Unik di Utara Makassar


Ampiri adalah sebuah dusun yang terletak di lereng bukit Coppo Tile, desa Bacu Bacu, kecamatan Pujananting, kabupaten Barru, di Makassar, Sulawesi Selatan. Bayangkan teman baru saya di dusun ini kalau menuliskan alamat lengkap rumahnya di amplop surat atau formulir lain. Panjang dan banyak; kontras dengan jumlah penduduk di dusun ini  yang hanya sekitar 1.500 orang.

Untuk mencapai dusun Ampiri saya harus berkendara empat jam atau sekitar 160-an km ke arah utara kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Perjalanan langsung dilakukan setelah pesawat mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Begitu kendaraan sewaan datang, kami --saya dan 3 teman di tim proyek ini-- langsung berangkat menuju kabupaten Barru. Hanya sekali kami mampir untuk makan siang di restoran bernama Rumah Makan Tujuh Tujuh di daerah Pangkep.


Restoran sederhana ini menyajikan sop saudara dan ikan bakar masakan khas Makassar yang terkenal dengan ikan bandeng-nya itu. Sepanjang perjalanan menuju Pangkep ini memang terlihat banyak tambak-tambak ikan di tepi jalan yang membatasinya dengan laut.

Tampaknya rumah makan Tujuh Tujuh lumayan terkenal. Karena walaupun semua peralatan makan dan meja-kursinya tidak mewah namun banyak pegawai negeri --terlihat dari baju seragamnya-- dan pebisnis-pebisnis daerah makan siang disini. Di dinding restoran terpajang foro-foto dan tanda tangan para artis Indonesia yang pernah makan disini.

Sop saudara (right)
Saking laparnya, saya tidak berminat melihat siapa saja artis itu. Hidangan di depan saya lebih menyita perhatian. Nama sopnya aneh ya, sop saudara, tapi rasanya jangan tanya. Gurih dan lezat sekali. Ikan bandeng bakarnya pun enak, terutama karena segar-segar dan ukurannya besar. Sambalnya khas karena pakai kacang dan rasa pedasnya mantap.  Kapanpun sempat ke Makassar, singgahlah ke rumah makan ini.

Sebenarnya perjalanan bisa ditempuh dalam waktu yang lebih singkat, tetapi kondisi jalan raya utama ini tidak selalu mulus. Ada saja halangannya; ada yang salah satu sisinya masih dalam pengerjaan sehingga kendaraan harus bergiliran lewat. Atau jalan rayanya hotmix yang mulus sehingga mobil bisa dipacu kencang tapi lalu tiba-tiba menjadi rusak selama beberapa meter. Semua jenis kendaraan melalui jalan ini, mulai dari sepeda motor sampai truk-truk berukuran besar. Kata sopir kami jalanan yang rusak itu malah ada yang sudah bertahun-tahun kondisinya seperti itu.

Pebukitan dan tambak bandeng
Nun jauh di sebelah kanan jalan tampak bentangan pebukitan batu yang terkadang beberapa bukitnya tampak putih, setengah tubuhnya sudah terkikis. Itulah wilayah pabrik semen Bosowa dan Tonasa. Pebukitan itu tempat bahan baku produksi semen mereka; tampak gersang dan menyedihkan dari jalan raya ini; apalagi hasil semen mereka sepertinya tidak sampai ke jalan raya yang tentunya sarana transportasi penting bagi mereka juga.




Menuju Bacu-bacu

Angkot Off-road
Mobil sewaan kami hanya mengantar sampai Doi doi, desa beraliran listrik terakhir sebelum menuju Bacu-bacu. Sejak awal tim kami sudah diwanti-wanti untuk bersiap diri harus berjalan kaki dari Doi-doi ke desa sejauh 13 kilometer di atas bukit selama sekitar 5 jam karena kondisi jalan tidak layak dilalui kendaraan di kala hujan. Itu sebabnya saya membawa carrier atau ransel 35 liter dan memakai sepatu hiking. Kontras dengan penampilan tiga teman saya yang semua bawa tas travel biasa dan ada yang hanya pakai sandal "crocs". Memang ada kendaraan umum untuk sarana transportasi penduduk yang akan turun dan kembali ke desanya di gunung tetapi tidak terlintas di pikiran saya kalau akan naik mobil angkutan umum ini. Perjalanan naik angkot lebih singkat, sekitar 1 jam saja; ongkosnya Rp10 ribu per orang. Kalau naik ojek motor perjalanan juga makan waktu 1 jam.

Langit di atas Bacu-bacu
Tampaknya teman-teman saya memilih untuk naik angkutan umum yaitu sejenis minibus bermuatan 7-8 orang. Namun kami harus menunggu sampai senja turun agar mendapatkan sopir kendaraan yang piawai ber-off road di sepanjang jalan.Walau agak sedikit kecewa karena tidak jadi 'hiking', dalam perjalanan dengan angkot saya malah sangat bersyukur karena kondisi jalan yang kami lalui memang tidak menyenangkan pula untuk jalan kaki. Tidak ada jalan pintas melalui hutan atau kebun. Kalau lewat jalan kendaraan pasti harus banyak mengalah karena kondisinya yang buruk dan sempit. Badan kita bisa terpojok ke tebing atau terpepet sampai tepi jurang.

Sehabis shalat magrib angkot off-road kami pun berangkat. Ada sekitar 4 penumpang lain plus anak kecil usia 3 tahunan, anak si sopir, berdiri di belakang bapaknya. Langit semakin gelap saat mobil angkot mulai merendahkan kecepatannya akibat kondisi jalan yang mulai berbatu-batu. Lobang jalan yang kecil-kecil semakin lama berubah menjadi jalanan yang berbatu besar-besar. Kombinasi antara jalan menurun sambil menghindari batu besar menyita setengah dari perjalanan kami. Bayangkan betapa tegangnya kami yang duduk di bangku belakang supir dan terus melihat ke jalanan di depan kami.

Seorang bapak di warung tempat kami menunggu angkot bercerita kalau jurang di rute kami ini sering menelan korban. Sudah sering mobil angkot terperosok ke dalam jurang dengan korban tewas tak sedikit jumlahnya. Karenanya saat melewati daerah yang berjurang, doa yang saya kumandangkan dalam hati semakin keras. Jalanan tanpa penerangan sama sekali semakin menambah ketegangan seisi angkot. Penumpang lain yang tampaknya sering mondar mandir menggunakan angkot juga duduk dengan diam. Tak terdengar obrolan mereka yang sebelumnya hangat. Saya yang sudah mulai percaya pada kepiawaian si sopir juga kembali deg-degan melihat kondisi jalan dan tepi jurang yang hitam.

Ampiri saat senja
Daerah ini sudah lama tidak turun hujan namun di beberapa titik jalan kondisinya becek dan berlumpur. Ternyata ada pipa air yang bocor dan airnya melimpah hingga ke jalan. Bahkan ada yang sedang mencuci mobilnya di dekat pipa tersebut. Jalanan yang sudah tidak karuan semakin membahayakan karena licin. Acapkali sopir kami menggunakan kecepatan nol, alias bermain kopling dan rem untuk melalui batu-batu besar dan tajam di jalan menurun, berbelok-belok bahkan tiba-tiba menanjak drastis. Bener deh, mendingan naik roller coaster daripada naik angkot ini! Hebatnya lagi, bocah si sopir tadi tertidur pulas di punggung bapaknya di tengah perjalanan.

Namun semua dapat terlampaui dengan selamat. Dua desa sebelum tujuan kami tampak pemandangan menarik. Sejumlah anak muda yang memarkirkan motornya di pinggir jalan sedang sibuk bertelepon dengan handphone-nya. "Ini tempat kita bisa menemukan sinyal, di bawah sudah tidak bisa," kata seorang penumpang pada kami. Wow! Saya semakin bergairah mendengarnya, sekaligus khawatir. Saya belum pernah tidak terjangkau sinyal, tapi bagaimana kalau ada apa-apa dengan keluarga dan saya tidak bisa dihubungi? Hmmm...


Sampai di dusun Ampiri kami disambut teman yang menjadi nara sumber tulisan dan dokumentasi kami; Harianto atau dipanggil Anto. Rumah panggung sederhana milik orangtuanya menjadi tumpangan kami hingga 3 hari ke depan. Penerangannya yang suram tidak menghalangi kami untuk berbincang-bincang, makan malam, cuci-cuci lalu tidur. Eh, makan malamnya nikmat sekali lho. Ada ketupat, nasi putih dari sawah sendiri, ikan dan lain-lain. Ibu sudah lama tidak ke pasar jadi tidak ada sayur. Tak mengapa, tidur saya nyenyak sekali malam itu karena kekenyangan.

Terangi Desa
Anto masih kuliah di Universitas Negeri Makassar, fakultas kimia. Namun ia memiliki kepedulian tinggi pada desanya. Di usianya yang masih muda Anto sudah menjadi pahlawan bagi masyarakat dusun kelahirannya karena membuat pembangkit listrik menggunakan kincir air sederhana. Atas usahanya dusun Ampiri yang sudah lebih dari 30 tahun tidak mempunyai listrik menjadi terang benderang. Perusahaan Astra Indonesia memberi penghargaan kepada Anto untuk jasanya tersebut. Selengkapnya tentang hal ini bisa dibaca di laman Facebook Astra.

Musim kemarau yang panjang di daerah Ampiri dan sekitarnya tidak membuat sungai menjadi kering. Saya menyusuri pematang sawah-sawah yang kerontang saat menengok sungai yang menjadi sarana penerangan dusun tersebut. Debit air memang kecil tapi kekuatannya masih cukup untuk menerangi desa. Untuk penerangan rumahnya sendiri yang masih suram Anto mengakui dia hanya belum mengganti lampu pijarnya karena harus membeli di kota.

Beberapa kerbau tampak mencari makan di tengah sawah. Langit biru di atas Ampiri begitu indah. Udara pagi hari pun terasa dingin menusuk. Setiap malam angin bertiup kencang, membuat berisik suara atap seng rumah. Namun saya selalu tertidur pulas, sendirian di kamar tuan rumah. Orangtua Anto mengalah tidur dengan anaknya di dekat dapur karena tidak mau saya tidur bersama-sama para teman pria di ruang tamu.

Pagi hari di Ampiri
Penduduk dusun Ampiri ramah-ramah. Mereka jarang bisa berbahasa Indonesia dan saya tidak mengerti bahasa Makassar. Tapi mereka penuh pengertian, tidak memandang dengan aneh atau heran, cenderung pemalu dan senang memberi. Tiga hari hidup di dusun tanpa sinyal dan penerangan yang maksimal ternyata tidak mematikan selera makan saya. Apapun yang dihidangkan ibunya Anto selalu kami lahap dengan nikmat. Kopi makassar yang terkenal pun kami dapatkan dengan mudah di warung tetangga.

Kegiatan dokumentasi berjalan lancar karena walaupun sedikit pemalu, penduduk Ampiri cukup informatif dan kooperatif. Kehidupan yang cukup keras karena kondisi infrastruktur jalan, penerangan dan lahan yang kering tidak membuat wajah mereka dingin. Rasa syukur dan optimisme, itu yang menurut saya membuat penduduk Ampiri tetap survive sejak dahulu saat gelap gulita hingga kini sudah menikmati aliran listrik.

Oleh-oleh khas dusun ini adalah gula merah yang keras dan tebal sebesar batu bata serta madu. Keduanya manis asli; sangat manis namun tidak membuat sakit gigi. Madunya dikemas dalam botol dan saat saya minum masih ada serat-serat sarangnya. Menyegarkan!

Kerajinan cobek & nisan di Kab. Barru
Perjalanan pulang di pagi hari membuat kami dapat menelusuri kondisi jalan dan keadaan sekitarnya. Memang, lebih baik melintasi jalan itu dalam kondisi gelap karena tidak keseluruhan badan jalan yang terlihat. Namun pemandangan di kiri-kanan jalan yang indah sangat menghibur mata dan hati saya.

Lepas dari jalanan off-road kami melewati sebuah desa yang berjualan kerajinan dari batuan yang banyak tersebar disitu. Agak seram sebenarnya, karena salah satu hasilnya adalah batu nisan; selain cobek. Kabarnya, kerajinan ini terbukti kuat dan tahan lama.


Di kabupaten Baru ini juga ada harta terpendam lho. Batuan marmer sebesar-besar truk mini seperti dilemparkan penciptaNya di pebukitan. Beberapa yang sudah terkelupas karena dipotong, tampak berkilau tertimpa matahari. "Itu mahal sekali kalau dijual," kata sopir kami.



Makassar


Kota yang sempat berganti nama menjadi Ujung Pandang ini memiliki benteng layaknya kota-kota bekas jajahan Belanda yang terletak di tepi laut. Namanya Fort Rotterdam. Tipe bangunan dan suasana Fort Rotterdam hampir mirip di benteng Vredeburg di Jogjakarta; hanya sedikit lebih luas dan ada museumnya yaitu Museum La Galigo.

Sebagai penyuka kota tua dan bangunan-bangunan tua saya langsung menyesal tidak membawa kamera yang 'sungguhan' agar puas membidik angle-angle menarik di Rotterdam ini. Namun beberapa hasil bidikan kamera BB saya cukup menghibur hati karena tempatnya memang bersih, warna bentengnya bagus, rapih dan langit Makassar sedang sangat biru. Sayang, saya tidak sempat mencoba naik becak Makassar yang ukurannya seperti becak Malang ini.

Biasanya turis juga tidak lupa mengunjungi pantai Losari dan makan pisang epe disana. Sejujurnya pantai ini biasa sekali. Apalagi tepiannya adalah pagar tembok, bukan pasir pantai. Pemandangan di hadapan kita pun bukan ombak besar atau pulau indah. Namun menyaksikan matahari tenggelam di pantai ini cukup menghibur hati yang kecewa akibat melihat sampah-sampah di bawah tembok pantai. Mungkin pemerintah setempat bisa lebih memperhatikan kebersihan di tempat ini untuk kenyamanan wisatawan.

Nah, kalau sudah berada di Makassar jangan lupa wisata kuliner. Selain makan ikan bakar, cotto makassar dan kue-kue basahnya yang lezat, cobalah ke kedai kopi Phoenam. Kedai ini terkenal ke seantero nusantara karena kopinya nikmat, terutama kopi susunya.

Saat kami datang si pemilik sendiri yang meracik pesanan kami. Kabarnya, pejabat-pejabat tinggi dan orang terkenal paling suka ngopi disini, termasuk Jusuf Kalla, mantan wakil presiden RI. Tempatnya sendiri sederhana, tidak ada sofa atau wi-fi seperti cafe-cafe di Jakarta. Kursinya sederhana. Tidak ada AC. Namun pengunjungnya tak pernah sepi. Kopi Makassar memang terkenal enak selain kopi Aceh, Mandailing dan Papua. Mau coba? Segeralah terbang ke Makassar :)

*Makassar trip, 2012*





Komentar

Postingan Populer