Indonesiaku, Rumah Bagi Anak Bangsa


Indonesia kita ini tidak hanya kaya dalam jumlah, namun juga dalam ragam. Tanah dan samuderanya luas dan dihuni beragam suku bangsa. Amerika Serikat yang seluas *9.969.091 kilometer persegi didiami hanya suku Indian dan pendatang. Sementara itu Indonesia seluas 1.919.440 kilometer persegi menjadi hunian 1.340 suku bangsa. Hebat kan!

Perjalanan jurnalistik ke berbagai daerah membawa saya mengenal dan bergaul dengan penduduk asli di tempat tinggalnya. Kendati lebih sering sibuk dengan memotret dan berbincang-bincang dengan pemuka desa atau agama, saya selalu berusaha menyempatkan diri mengobrol atau hanya memotret teman-teman sebangsa dan setanah air saya ini. Anak-anak adalah obyek menarik karena tingkah laku mereka ada adanya serta raut mukanya sangat alami.

Singkawang, Papua dan Ternate yang Unik

Anak-anak ini masih duduk di bangku sekolah dasar di dusun Ampiri, desa Bacu Bacu, kecamatan Pujananting, kabupaten Barru, Makassar, Sulawesi Selatan. Letak dusun mereka sangat terpencil, sangat kering di musim kemarau dan belum dialiri listrik.
Namun itu semua tidak menghalangi gaya berpakaian mereka ya. Lihat saja celana jns dan kaos yang trendi. Usai menamatkan pendidikan di SD, mereka harus berjalan jauh untuk bersekolah ke SMP. Atau cukup melanjutkan ke madrasah tingkat SMP di dusunnya. Oh ya, kopi asli dusun mereka cukup nikmat lho :)

Di Singkawang saya sempat mengunjungi suku Dayak Salako di pemukimannya di Bagak Sahwa, kecamatan Singkawang Timur. Bagak Sahwa termasuk tujuan wisata di Singkawang, maka tak heran usai wawancara warganya segera menyuguhkan segala sesuatu yang khas dari suku mereka. Walau sibuk mewawancarai sumber dan memotret, saya sempatkan untuk berfoto dengan anak-anak Salako. Mereka tidak pemalu namun juga tidak langsung akrab dengan orang lain. Anak laki-laki pun sama; tidak iseng namun keingintahuannya cukup besar melihat peralatan yang saya bawa.



Pernah ada teman yang mengatakan bahwa paras wajah dan warna kulit suku Dayak lebih mirip ke orang Tionghoa. Nah, coba lihat tampang anak-anak ini. Apa benar seperti itu? Saya malah melihat keunikan masing-masing dari mereka. Seperti halnya anak-anak Indonesia jaman sekarang, mereka sulit ditebak asal suku bangsanya, sebab percampuran suku di Indonesia pun sering terjadi.



Saat mengejar sunset di Pantai Pasir Panjang, masih di Singkawang, saya mendapatkan pemandangan yang mengagumkan. Seorang pria mencari ikan dan kepiting di pinggir pantai dengan menggunakan jala kecil. Tak lama dua orang gadis kecil menghampiri pria tersebut. Saya menduga si pria adalah ayah mereka. Keduanya memakai gaun yang cukup bagus untuk bermain dan tanpa malu-malu membantu ayahnya bekerja dengan membawakan hasil tangkapan. Tidak jelas apakah ini mata pencaharian utama si ayah atau hanya mencari lauk untuk makan malam, namun tanpa banyak cakap kedua gadis cilik ini terus mengikuti ayah mereka yang berjalan menyusuri pantai sambil sesekali menyebar jala dan menariknya. Saya merenungkan kehidupan dan kerja keras sang ayah demi kehidupan keluarganya dan anak-anak yang mendukung kerja orangtuanya tanpa rasa malu.


Dedikasi pada pekerjaan yang sudah diwariskan turun temurun saya jumpai di Sakkok, Singkawang. Adalah kue choi pan, penganan khas Singkawang yang lezat dan terkenal hingga keluar Kalimantan. Di Sakkok ada sebuah keluarga yang sudah turun temurun membuat dan menjual kue choi pan. Saking laris dan terkenal enaknya, pembeli harus memesan sehari sebelumnya. Ibu yang di foto ini menjadi kepala usaha, dan dibantu hanya oleh anak perempuannya. Saya menyaksikan mereka berdua membuat choi pan mulai dari adonan hingga memasaknya di tungku tradisional. Irit bicara, gerakan tangan yang cekatan dan tekun. Itulah gaya kerja mereka.


Wanita, pada suku bangsa manapun di tanah air kita, kerap menjadi tulang punggung atau penggerak ekonomi keluarga. Demikian pula di kabupaten Sorong, Papua Barat. Perempuan penjual rebung di pasar tradisional ini, adalah seorang sarjana lho. Di rumahnya ia bercocok tanam. Setiap subuh ia berjualan rebung dan sayuran lain di pasar yang harus ia capai dengan menumpang kendaraan selama satu jam perjalanan dari rumahnya.
Saya kagum pada usaha dan ketekunannya mencari nafkah. Sayang, tidak ada yang memberinya modal untuk menambah jenis jualannya dan dapat menyewa lapak yang permanen agar tak perlu duduk berjongkok seperti itu.

Sementara itu pria ini mengecap nasib yang lebih beruntung. Dia menjadi PNS dan jabatan humas yang ia emban membuatnya bisa mengunjungi tempat-tempat lain selain Sorong. Peralatan fotografinya lebih bagus dari milik saya. Lagaknya seru banget ya saat memotret di pelabuhan pasar ikan Jempur, Sorong.



Seorang pemuda yang baru menjadi sarjana (saat itu), dan tinggal di pulau Bacan, membuat saya memikirkan apa yang sudah saya sumbangkan bagi negara ini. Nash, panggilan akrab dari kami, menggagas Rumah Baca Bibinoi (RUBI). Ini sebuah komunitas membaca bagi siswa-siswa usia sekolah hingga SMU di desa Bibinoi, Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Nash mengumpulkan buku-buku dan mengajak anak-anak di desanya cinta membaca. Di waktu senggang dia juga mengajar ilmu-ilmu termasuk tentang menggunakan komputer. Disini dia mengajar tentang ilmu pengetahuan alam langsung ke air terjun yang kami capai dengan berjalan kaki selama satu jam. Ia bukan guru, namun ia sudah menjadi kakak guru bagi anak-anak di kampung Bibinoi. Kini saya masih mencari pendonor untuk menggagas perpustakaan laut bersama Nash. Siapa yang berminat, bisa menghubungi saya ya :)
Ketika kami mengunjungi Bibinoi, kebetulan sekali guru-guru muda dari Indonesia Mengajar wilayah Maluku sedang berangjangsana juga kesana. Pengalaman mereka menyenangkan sekali kedengarannya. Para profesional muda atau baru beberapa tahun lulus dari universitas, berasal dari berbagai kota besar di Indonesia, mau membaktikan dirinya untuk anak-anak bangsa di pelosok Indonesia.
Kesempatan berfoto bersama anak-anak Bibinoi dan guru IM ini sangat langka

Desa Bori, masih terletak di Pulau Bacan, namun mencapainya harus menggunakan perahu bermotor sekitar setengah jam dari Bibinoi. Anak-anak di desa ini tidak seberuntung temannya di Bibinoi. Mereka tidak memiliki rumah baca, mungkin juga jarang membaca, sehingga tidak luwes berkomunikasi dengan tamu dari luar desa. Namun, seperti biasanya anak-anak, mereka kagum pada kamera yang saya bawa, dan bersedia saja diajak berfoto. Coba saat itu saya sudah punya tongsis, pasti lebih seru fotonya!  Desa yang berpenduduk tidak sampai seribu orang ini diberkati Tuhan dengan laut dan langit yang berwarna biru indah di saat cuaca bagus. Dermaga tempat perahu bermotor kami bersandar jauh lebih sederhana daripada dermaga di Bibinoi. Rumah-rumah sederhana beratap seng yang setengah miring tidak menghalangi keindahan foto-foto lansekap yang kami buat
.Lihatlah langit dan jajaran pohon kelapa di foto ini. Indah sekali! Di pulau Bacan ini setiap hari mata saya dipuaskan dengan pemandangan indah tersebut, persis seperti yang diceritakan di buku-buku pelajaran sekolah dasar saya. 

Kepala desa Bori sedang menunjukkan pada saya bekas banjir yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Beton penghalang pantai hancur diterjang ombak saat itu, dan air laut masuk beberapa meter ke dalam desa.


Bali Nan Artistik

Pernah dengar nama Desa Penglipuran di Bali? Kalau belum pernah, berarti tujuan wisata Anda di Bali masih mainstream alias umum. Hehehe.

Penglipuran adalah desa adat yang sudah berusia 100 tahun dan dipertahankan sebagai desa wisata yang terkenal dengan rumah-rumah adatnya yang tertata rapih. Saya beruntung sempat bertemua dan mengobrol dengan ketua adatnya, Wayan Supat.

Anak-anak perempuan di desa ini ada yang masih senang mengenakan selendang saat bermain sore hari. Mungkin juga karena mereka baru ikut orangtuanya ke pura. Seperti halnya anak-anak lain, mereka doyan makan es krim. Supaya mudah dan tidak membuang sampah dimana-mana, mereka melahap es krim di dekat tempat sampah yang unik dan terbagi menjadi organik dan anorganik. Mereka manis-manis ya :)

Liputan tentang bambu juga membuat saya bertambah beberapa kenalan baru petani bambu. Salah satunya, Wayan Jepang; asli Bali bukan Jepang. Selain bambu, ia juga mempunyai kebun jeruk dan tanaman lain. Ketekunannya selama puluhan tahun menjadi petani membuat ia bisa membangun rumah khas Bali yang sangat artistik, penuh ukitan di dinding dan pintu utamanya. Anak-anaknya sudah hampir menjadi sarjana, dan tetap membantu pekerjaan di kebunnya yang luas kalau sedang libur kuliah.

Penglipuran termasuk kabupaten Bangli, kabupaten terbesar penghasil bambu di pulau Bali. Jeruk Banglinya juga enak lho. Manis dan berair banyak. Ibu ini menjual berbagai kerajinan dari bambu, baik untuk wisatawan maupun penduduk lokal yang membutuhkan barang-barang untuk upacara adat. Wadah berwarna kuning dan hijau itu namanya Keben; biasa dipakai untuk membawa peralatan upacara.



Suku Dayak yang Tangguh


Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalimantan Barat luasnya 800.000 hektar! Terluas di Kalimantan Barat. Sungai besar dan kecil mengalir di dalam arealnya. Sungai Kapuas, yang terbesar dan terpanjang, mempunyai riam-riam yang terkenal. Riam Bakang termasuk riam yang menantang adrenalin petualang. Tidak panjang; ditempuh dalam waktu singkat di antara ombak air sungai nan bergelora dan dihiasi bebatuan besar. Dua tukang perahu kami ini kakak beradik yang tangguh sesuai namanya Daniel (pengendali mesin longboat) dan Simon (pengendali di lunas depan). Mereka adalah suku Dayak Punan Hovongan. Tak banyak omong, piawai mengendalikan perahu dan bertenaga kuat, itulah ciri keduanya. Kepiawaian Simon terbukti saat di suatu daerah sungai dimana arusnya deras namun tidak dalam. Pengendali perahu di longboat satu lagi turun dari perahu bersama beberapa penumpang agar tidak terpental, sementara Simon dengan halus namun kuat mengarahkan longboat menggunakan dayungnya tanpa perlu turun dari kapal dibantu Daniel yang memainkan irama mesin motor longboat dengan tak kalah lincahnya. Saya bertepuk tangan gembira :)

Di daerah Kapuas Hulu, terdapat desa Tanjung Lokang, desa asal Simon dan Daniel.  Mereka sudah tidak tinggal di rumah panjang khas Dayak.
Di foto ini seorang ibu muda ini sedang mengawasi anak laki-laki mungilnya yang sedang bermain di jembatan di tepi sungai. Si bocah tidak mengenakan celana dalam dan di tangan kanannya ada pisau tajam. Duh, horor banget deh. Saya meringis sendiri saat dia menolak tangan si ibu yang mau mengambil pisaunya. Hati-hati nak, jangan sampai terpotong modalmu sebagai lelaki, kata teman seperjalanan saya. Hahahah!

Sebelum Tanjung Lokang, ada desa Nangan Bungan yang juga dihuni Dayak Punan Hovongan. Suku ini masih bertattoo sesuai adatnya. Coba lihat baik-baik tangan dan kaki bapak berbaju biru ini.

Hanya ada satu bangunan sekolah di Nangan Bungan. Bangunannya pun paling bagus dan paling baru di seantero desa. Ada beberapa kelas dan tingkatan, namun gurunya hanya dua orang. Kepala sekolah merangkap guru pengajar juga. Ini mereka siap berbaris setelah jam istirahat pertama. Usai berbaris, semua anak memunguti sampah yang berada di halaman sekolah
sesuai komando pak Kepsek. Hmmm.... perlu dicontoh murid Jakarta nih.

Ketiga anak kecil dalam foto di bawah ini adalah keluarga suku Dayak Taman yang mendiami rumah betang Bali Gundi, dekat Putussibau. Wisatawan boleh menginap di rumah betang ini dengan tarif tidak mahal; Itu sebabnya anak-anaknya tidak tampak takut pada orang asing dan mudah difoto. Anak perempuan kecil itu seperti ada darah bule-nya ya. Padahal orangtuanya asli dayak lho.





Saya pikir semua orang Dayak sudah menjadi manusia modern dengan pakaian yang sama dengan penduduk di kota. Surprais sekali, dalam perjalanan melewati hutan di Tanjung Lokang, kami bertemu dengan seorang warganya yang hanya bercawat dari kulit kayu dan membawa panah serta sumpit. Bapak ini sedang berburu di hutan yang tidak lagi perawan. Tentu saja dia menjadi obyek foto yang menarik bagi kami; mana si bapak tidak malu-malu pula. Sementara kami yang wanita sudah memerah padam wajah melihat penampilannya yang setengah telanjang itu. Hadeeeeh!

Meskipun tidak lagi tinggal di rumah betang, rumah di Tanjung Lokang tetap tinggi dan mempunyai kolong rumah. Tangga rumahnya hanya setengah batang kayu yang permukaannya ditatah sederhana sehingga menjadi anak tangga.
Kemiringan tangga kayu ini juga cukup ekstrim; namun ibu pemilik rumah di foto ini santai saja turun naik tangga sementara saya harus memanjat pelahan seperti kukang karena tanpa alas kaki terasa kayunya agak licin di kulit.
Berbeda dengan sungai Kapuas yang berair coklat (kecuali di Kapuas Hulu) dan kiri-kanan sungai sudah gersang, di sungai Embaloh saya mendapati pemandangan hutan rimba yang indah. Airnya pun masih jernih. Sepanjang penyusuran sungai rombongan kami tidak pernah berjumpa dengan manusia lain. 

Tiba-tiba perahu yang saya tumpangi menepi dan tukang perahu melempar tali ke hamparan bebatuan yang menjadi daratan kecil. Polisi hutan yang menemani kami segera melompat turun dari perahu sambil membawa keranjang anyam. "Saya belanja sayur dulu ya," katanya ceria. Saya terbengong-bengong tidak mengerti. Mana pasarnya? (pikir saya). Karena penasaran dan kepo, saya ikut turun dan menyusul agak masuk ke dalam hutan. Ternyata mereka memetiki daun pakis yang hijau dan segar . Ealaaaah... hutan rimba ini rupanya pasar tempat mereka berbelanja! Saya tertawa senaaaang!
Sesampai di Camp Tekelan, kedua tukang perahu kami dari suku Dayak Iban langsung mengolah sayur pakis itu menjadi masakan yang lezat. Walaupun di tengah hutan, makanan kami berkualitas, karena mereka niat banget bawa kompor gas untuk keperluan memasak. Lauknya apa? Ikan semah hasil pukat Salamat dan Umpor, tukang perahu kami. Di kota, harga ikan semah ini Rp 800.000 per kg kata teman saya. Ha! Disini kami makan satu ekor besar ikan semah dimasak sop dengan setengah berebut! Bumbunya hanya garam dan merica, tapi enaknya bukan main! Gurih, segar dan tidak bau amis. Fotonya mana? Baca saja artikel tentang ekowisata di TN Betung Kerihun di blog saya ini juga :)  Dan inilah wajah kedua sahabat Dayak Iban saya; yang selalu menemani saya di dua kunjungan saya ke sungai Embaloh dan Tekelan, surga tersembunyi di jantung Kalimantan Barat.

Umpor, sudah menikah dan mempunyai anak, tinggal di rumah betang Desa Sadap. Sebuah desa wisata yang juga menerima tamu menginap di rumah betangnya. Umpor dan Salamat pernah mengikuti kursus bahasa Inggris yang diadakan bagi para guide ekowisata di TN Betung Kerihun. Sejak kami berpisah di kunjungan saya yang terakhir, Umpor paling rajin mengirim pesan singkat ke telepon selular saya mulai dari sebaris kalimat pendek "Apa kabar mba?", hingga curhatnya tentang impiannya untuk bisa belajar lagi bahasa Inggris karena kursus dirasa tidak cukup.

Kedua lelaki ini mengandalkan nafkahnya dari profesi guide tersebut. Sebelum kursus, baik Umpor maupun Salamat sudah sering membawa rombongan peneliti dari luar negeri seperti Jerman, Singapura dan Jepang. Bahasa Inggris yang mudah dan untuk percakapan sehari-hari sudah dikuasai walau dengan logat sukunya yang kental. Kabar terakhir yang dikirim Umpor adalah kematian panglima adat desanya pada awal Maret 2015.  Salamat, yang lebih melankoli ini mempunyai mata yang tajam. Berkat dia, saya bisa melihat berbagai binatang saat longboat melaju pelahan di sungai. Rusa hutan, burung, kupu-kupu, serta anggrek dan pohon-pohon yang indah. Pengetahuan keduanya akan kekayaan taman nasional ini lebih sering dinikmati oleh wisatawan asing, karena belum ada wisatawan Indonesia yang mau berpetualang kesana; kecuali komunitas pemancing atau orang-orang dinas kehutanan. Saya merasa sangat beruntung bisa mengunjungi tempat indah ini dan memperoleh teman-teman baru.
Foto: Koleksi Pribadi





Komentar

Postingan Populer